Kamis, 31 Oktober 2013

BUSINESS PLAN (KELOMPOK) STRATEGI BISNIS

BUSINESS PLAN
“Banana Lolipop”


Disusun oleh :
LOKATANG SAO REZA
SETYA AGUSTIN FAUZIAH
IRMAYANTI
JUZAEN WULANDARI F



                                                              PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Makanan merupakan sesuatu yang diproses dari olahan suatu bahan pangan yang diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto, 1993). Makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat digunakan untuk proses di dalam tubuh. Terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel tubuh (Irianto, 2004).
Dari pengertian makanan tersebut, terdapat berbagai jenis makanan berdasarkan cara perolehannya. Salah satunya adalah Makanan olahan. Makanan olahan adalah makanan hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Makanan olahan bisa dibedakan lagi menjadi makanan olahan tidak siap saji dan siap saji. Makanan tidak siap saji merupakan makanan yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dikonsumsi. Sedangkan, makanan siap saji merupakan makanan yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
Berkaitan dengan hal yang sudah dijabarkan diatas, saya berencana untuk membuat usaha makanan siap saji. Makanan siap saji tersebut adalah es pisang coklat. Jika mundur sejenak mengingat masa lalu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, banyak sekali pedagang yang menjual es pisang cokelat, biasanya disebut es kulkul. Es pisang tersebut sangat laku dikalangan anak-anak bahkan orang dewasa pun menyukainya. Namun, seiring berjalannya waktu, saya jarang sekali menemukan pedagang es pisang tersebut. Padahal jika berkumpul bersama keluarga ataupun teman-teman, sering sekali membicarakan akan kerinduan mereka terhadap rasa manis dan nuansa dingin dari es pisang cokelat tersebut.
            Oleh sebab itu, saya berencana memunculkan kembali usaha pisang cokelat tersebut yang sekarang sudah sulit untuk dicari oleh masyarakat. Peluang usaha di bidang ini cukup menjanjikan karena melihat dan mendengar dari pembicaraan keluarga dan teman-teman mengenai es pisang cokelat tersebut sangat banyak diminati.


ASPEK PEMASARAN
A.     Product
Produk yang ditawarkan dalam usaha Banana Lolipop ini adalah pisang yang dibekukan dalam lemari es, kemudian setelah dingin dicelupkan ke dalam adonan cokelat. Lalu, diberikan taburan seperti kacang, keju, mesis, dan biskuit miniball. Ukuran yang ditawarkan pun beragam seperti small dan medium.

Banana Lolipop Keju                                            Banana Lolipop Mesis

Banana Lolipop Kacang & Banana Lolipop Biskuit Miniball
B.      Price
Banana Lolipop ini menawarkan harga kepada konsumen sebagai berikut :
-          Banana Lolipop (Small) : Rp 2000
-          Banana Lolipop (medium) : Rp 4000
Harga ini sudah termasuk dengan topping apa saja seperti keju, kacang, mesis, dan biskuit miniball.

C.      Promotion
Promosi usaha ice cream “Banana lolipop” ini dilakukan dengan mempublikasikan melalui flyer dan dari mulut ke mulut. Kemudian, “Banana Lolipop” ini melakukan promosi “Buy 5 Small Get 1 Medium”, yaitu jika membeli 5 ice cream ukuran kecil sekaligus, maka akan mendapatkan 1 ice cream ukuran besar dengan toping sesuai permintaan konsumen.

D.     Place
Usaha ice cream “Banana Lolipop” ini rencana awalnya akan ditempatkan di depan halaman rumah yaitu di daerah Perumahan Pondok Arum C3 no.10 RT002/003, Karawaci, Tangerang. Tempat ini menjadi strategis karena dekat dengan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dan juga di kawasan rumah ini banyak anak-anak yang masih berusia 12 tahun kebawah.

E.      Positioning
Usaha yang akan saya buat ini diberi nama “Banana Lolipop”. Dimana kata “Banana” merupakan cerminan dari produk yang ditawarkan di dalam usaha ini yaitu pisang. Kemudian, ditambahkan kata “Lolipop” karena topping yang diberikan pada es pisang cokelat ini beragam dan berwarna-warni seperti permen lolipop. Kata lolipop identik dengan anak-anak. Maka untuk memberikan positioning di masyarakat khususnya anak-anak, maka saya memutuskan mengambil kata “Banana Lolipop” untuk brand usaha yang akan saya jalankan. Nama tersebut diharapkan dapat melekat di ingatan masyarakat.

F.       Segmentation
-          Segmentasi Geografis
Untuk wilayah penjualan ice cream “Banana Lolipop” ini di sekitar daerah Tangerang .


-          Segmentasi Demografis
Usia                       : All
Jenis Kelamin        : Laki – laki dan Perempuan
SES                         : A,B,C

-          Segmentasi  Psikografis
“Banana Lolipop” mengarah kepada masyarakat dengan kelas menengah atas hingga kelas menengah bawah.

G.     Targeting
Untuk sasaran pasar usaha ice cream “Banana Lolipop” ini yaitu :
-          Anak-anak di daerah Perumahan Pondok Arum, Karawaci, Tangerang
-          Anak-anak Sekolah Dasar Pabuaran Tumpeng 1 Tangerang
-          Anak-anak Sekolah Menengah Pertama 15 Tangerang

PENUTUP
                                                                     KESIMPULAN
            Banana Lolipop merupakan suatu usaha makanan yang memberikan sajian es pisang cokelat. Diinovasikan dengan memberikan berbagai varian topping seperti kacang, keju, mesis, dan biskuit miniball sebagai pelengkap agar rasa dari es pisang cokelat tersebut lebih enak dan lezat. Usaha ini ditujukan khususnya untuk anak-anak pecinta ice cream dan cokelat. Di dalam usaha ini tidak membutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan tidak mengeluarkan modal yang terlalu besar. Usaha rumahan ini dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan.

Sumber :
http://www.google.com/imgres?sa=X&biw=1280&bih=709&tbm=isch&tbnid=Dr2zWpeTFcw-uM:&imgrefurl=http://noopurnikhil.blogspot.com/2011/02/banana-lollipop.html&docid=7JBu9UuxecuxHM&imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeD-DNHihKDqh44M_fnCi9fp6XOTISRpcRS0iidttf-bxLcQEnmfe5O_CaLZWrMYq5BEZ1-q3GlY0ubyZLai4NutLuechdAul9Va2FMDlh8RCJpRZ2YmMQ4aHMFgNLQNecgyQfzJ7drII/s640/IMG_2950.JPG&w=640&h=480&ei=ZA5zUseBFY6JrgeE-4C4Dw&zoom=1&ved=1t:3588,r:70,s:0,i:300&iact=rc&page=4&tbnh=185&tbnw=235&start=66&ndsp=25&tx=155&ty=55

STRATEGI BISNIS

STRATEGI BISNIS :
Memiliki usaha sendiri adalah impian banyak orang. Apalagi,enterpreneurship belakangan ini cukup berkembang di Indonesia. Berbagai pelatihan pun menjamur, menawarkan kiat-kiat usaha kecil sukses. Pengusaha baru bermunculan, sebagian mampu bertahan dan tidak jarang yang berguguran.

Sah saja hukumnya jika kita mengikuti pelatihan dan trainingmotivasi enterpreneur karena akan membuka wawasan lebih luas tentang peluang usaha, manajemen perusahaan, dan jaringan multisegmen yang akan memberi efek sangat positif. Tetapi jika kita mengharapkan usaha kita akan sukses karena training dan pelatihan tersebut, kita salah besar. Tidak ada yang menjamin kesuksesan usaha kita, kecuali diri kita sendiri. Training dan pelatihan hanya sebagai spirit awal saja bagi kita.

Berikut ada 14 kiat sukses bagi usaha kecil yang bisa kita pelajari:

1. Mulailah dari Kesenangan Pribadi
Carilah usaha yang memang dekat dengan kesenangan atau kemampuan pribadi.  Kemampuan itu adalah modal kita yang pertama.  Kita bisa merenungkan, apa saja yang kita kuasai dan mampu kita kerjakan dengan baik. Kemampuan ini akan berkembang terus, dan kita yang tahu seluk-beluknya. Setiap usaha punya kerumitan dan masalahnya sendiri.

2. Pelajari Dengan Seksama Bidang Usaha yang Akan Kita Geluti
Banyak orang jahat di dunia ini. Namun, kita jangan khawatir karena orang baik pun tidak sedikit jumlahnya. Kita hanya perlu mengenali siapa mereka. Oleh karena itu, sebelum menerjuni sebuah usaha, kita perlu memahami karakteristik usaha tersebut agar tidak menjadi korban orang jahat yang memanfaatkan ketidaktahuan kita.

Hal-hal yang harus kita pelajari dan mengerti di antaranya sebagai berikut:
a. Bagaimana proses produksinya? Carilah informasi sebanyak-banyaknya untuk bisa kita pertimbangkan efisiensi biayanya.
b. Siapa saja konsumennya? Carilah informasi mengenai segmentasi konsumen yang hendak kita bidik dan bagaimana menyampaikan informasi tentang usaha kita kepada mereka.
c. Seberapa besar peluangnya? Buatlah perhitungan sederhana hingga detail mengenai peluang usaha tersebut. Dengan begitu, kita bisa cermat memperhitungkan struktur permodalan, regulasi keuangan, dan omset yang mungkin kita capai.

3. Susunlah Rencana Usaha
Perencanaan usaha meliputi bagaimana kita mengkonsep detail usaha kita, struktur permodalan, aspek-aspek teknis, dan manajemen pengelolaan usaha. Buatlah rencana tersebut dalam buku khusus. Susunlah langkah-langkahnya dengan sistematis. Buatlah target yang realistis, tidak terlalu mudah dan tidak pula muluk-muluk. Perencanaan yang baik akan menjadi panduan kita untuk mengelola suatu usaha.

4. Mengukur Peluang dari Usaha Baru
Kita dapat mengukur peluang dari usaha baru yang akan kita buat. Semua usaha baru dimulai karena ada kebutuhan.  Setelah kita mengidentifikasi adanya kebutuhan, barulah ada pasar yang potensial.

5. Lakukan Uji Coba
Jika memungkinkan, lakukan uji coba terhadap produk yang akan kita kembangkan. Uji coba berfungsi untuk mengetahui minat konsumen, hal-hal non-teknis yang kadang tidak terpikirkan, dan berbagai hal lain yang akan semakin menajamkan rencana usaha yang telah kita susun. Uji coba juga memungkinkan kita menghimpun kritik dan saran, mengetahui kekurangan produk untuk kita perbaiki, dan mengetahui kelebihannya untuk bisa kita maksimalkan.

6. Ciptakan Keunikan untuk Menarik Perhatian
Image yang baik tentu saja berpengaruh terhadap respon konsumen. Seringkali citra baik suatu produk baru didapat setelah proses bertahun-tahun. Oleh karena itu, di awal usaha, setiap produk harus mampu mencuri perhatian konsumen. Kita harus menciptakan keunikan untuk mencuri perhatian. Namun, keunikan tersebut tetap harus bercitra positif. Keunikan itu bisa diaplikasikan dalam bentuk merek, cara pengemasan, cara penyajian, servis purna layanan, dan sebagainya.

7. Jangan Menunda-nunda dan Jangan Terburu-buru
Penyakit yang sering dialami masyarakat kita adalah menunda-nunda tindakan saat kesempatan terbuka. Tentu saja, ini tidak baik sebab kesempatan tidak datang dua kali. Oleh karena itu, bangkit dari kemalasan dan memutus rantai penundaan adalah langkah yang harus dilakukan untuk meraih sukses. Namun, bukan berarti kita boleh terburu-buru. Semua harus dilakukan dengan cermat, dimulai pada saat yang tepat, direncanakan dengan baik dan maksimal.

8. Siapkan Diri untuk Berkompetisi
Kompetisi adalah sesuatu yang mutlak kita hadapi dalam proses usaha. Oleh sebab itu, kita harus siap dengan kompetisi tersebut. Mulailah dari rancangan produk yang mampu bersaing, mental enterpreneur yang kuat dan tahan banting, serta kemampuan memperbarui ide dengan hal-hal baru yang lebih baik. Jika memungkinkan, ubahlah lawan menjadi kawan. Ubahlah persaingan menjadi mitra, minimal bangunlah iklim persaingan yang sehat.

9. Bersaing dalam Kualitas, bukan Harga
Banyak usaha gulung tikar karena menyikapi persaingan dengan cara menurunkan harga. Jangan terprovokasi dengan iklim tersebut. Bersainglah dengan meningkatkan kualitas, bukan menurunkan harga. Memang, pada akhirnya, harga memiliki pengaruh sangat kuat dalam persaingan. Namun, jika harga menjadi bagian utama persaingan, itu tidak tepat. Menurunkan harga membuat kita harus menurunkan kualitas. Kualitas yang buruk membuat konsumen menjauh. Sementara kualitas yang baik, membuat konsumen ikhlas jika harganya sedikit mahal.

10. Jadikan Konsumen Sebagai Mitra, Bahkan Konsultan
Mungkin kita sering mendengar istilah “Pembeli adalah raja.” Mereka harus kita layani sebaik-baiknya. Akan lebih baik jika bisa kita jadikan mitra. Bahkan, konsultan. Jangan segan-segan meminta pendapat mereka mengenai produk. Selain mendapat masukan berharga, cara semacam ini berfungsi membangun keterikatan. Mereka akan “merasa memiliki” produk tersebut.

11. Pertimbangkan Lokasi dan Tata Letak dengan baik
Untuk usaha kecil dalam bidang penjualan, promosi terbaik adalah lokasinya.  Tata letak pabrik dan toko yang baik akan mempermudah kemampuan produksi.

12.  Kemaslah Promosi Dengan Baik, Elegan, dan Tidak Norak
Promosi yang dikemas baik akan menaikkan citra produk. Bicara masalah promosi, sama sekali tidak bicara masalah kuantitas, tetapi kualitas. Promosi yang baik adalah tepat sasaran. Jangan sampai, promosi justru membuat konsumen terganggu. Promosi bisa dilakukan dengan membuat pamflet kecil yang disebarkan ke masyarakat, kartu nama yang disisipi informasi produk, keikutsertaan dalam event yang melibatkan massa sesuai pangsa pasar yang dibidik. Sesuaikan bahasa, desain, dan cara penyampaiannya dengan target tersebut.

13. Internet Marketing
Saat ini, internet telah menjadi bagian kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kita bisa memasarkan produk melalui internet dengan membuat blog, web, dan banneriklan. Keikutsertaan dalam jejaring sosial juga sangat membantu penyebaran informasi. Bahkan, citra suatu produk bisa dibangun dengan cara tersebut. Jadi, kesertaan kita dalam jaringan internet marketing dan bisnis online adalah sebuah terobosan.

14. Mencari modal atau partner
Jika tidak punya modal sendiri, maka kita perlu mencari kerjasama dengan orang lain.  Disarankan kita harus berhati-hati dalam masalah administrasi keuangannya, karena banyak kasus penipuan.  Banyak partner yang curang atau nakal.  Jika kita hanya punya kemampuan, misalnya, ada kemungkinan partner kita akan “menendang” kita keluar begitu dia dan anak buahnya menguasai keahlian yang diperlukan tersebut. Kita perlu menempatkan orang yang kita percaya untuk mengawasi keuangan, kalau bisa kita tangani sendiri soal uang ini.  Selalu berhati-hati agar tidak ditipu orang.

Sumber artikel: anneahira.com, forumwirausaha.com, dan redaksi
Sumber gambar: forumwirausaha.com

Dapatkan artikel STRATEGI BISNIS lainnya di Portal Wirausaha Indonesia, silakan klikhttp://jpmi.or.id

SUMBER :

75. John Chuang, Ceres Indonesia & Petra Food, USD 505 juta
COKELAT ASLI INDONESIA : PT. PETRA FOODS INDONESIA .
Keberhasilan Pengusaha :
Begitu mendengar ceres, maka yang langsung kita ingat adalah cokelat. Dan perusahaan ini hadir sudah 50 tahun lebih, dan asli Indonesia. Sebut saja produk-produk yang sangat dikenal luas masyarakat Indonesia antara lain meises Ceres, Silver Queen, Chunky Bar, mereka adalah merek coklat yang terkenal di Indonesia dan milik PT. Petra Foods Indonesia.
Ceres selalu ada, konsisten dan dikenal sebagai pionir di bidang percokelatan. Bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan cokelat di Indonesia, mulai dari produksinya, delivernya sampai dengan promosi merek dilakukan secara berkesinambungan, dilakukan baik secara top line maupun bottom line.
Itulah salah satu keunggulan perusahaan ini dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis ditambah lagi dengan jaringan distribusi yang kuat dan khusus di bidang percokelatan. Selain itu juga didukung oleh kendaraan-kendaraan berpendingin khusus untuk cokelat yang terbesar diseluru Indonesia. Adapun jalur pemasaran yang dilakukan adalah fokus di pasar lokal dengan local flavour dan ekspor melalui induk perusahaannya yakni Petra Foods yang dimotori oleh seorang CEO yang berkompeten, John Chuang dengan pusatnya di Singapura. Dengan didukung sistem dan teknologi yang memadai, serta pengelolaan yang baik, ditambah dengan bersinerginya antara teknologi bisnis, memungkinkan perusahaan ini melakukan segala sesuatunya cukup terkontrol serta koordinasi dengan baik.

Cokelat silver queen, Chungky bar, dan Ceres adalah cokelat yang telah dikenal di Indonesia. Yang salah satu pemain utama pasar global. Petra Foods, perusahaan milik keluarga Chuang ini menjadi pesaing berat M&M’S, produsen cokelat nomer satu asal AMerika. Produk-produk Petra Foods telah merambah sekitar 17 negara di Dunia, diantaranya Thailand, Jepang Filipina, Hongkong, Australia dan China.

Cokelat-cokelat Brand PT.Petra Foods
- Chungky Bar
- Silver Queen
- Meises Ceres


Perjalanan Bisnis :
Beromset Rp 8 triliun dengan sejumlah merek yang berjaya di 17 negara. Bagaimana sepak terjang keluarga Chuang membangun kerajaan cokelat kelas dunia?

“Jangan khawatir berfokus di bisnis cokelat. Industri ini akan terus berkembang dan membesar 50 tahun mendatang!”

Walau telah disampaikan lebih dari 25 tahun lalu, pesan mendiang M. C. Chuang ini masih terngiang jelas di telinga Pontjo Susanto Widjaja, Direktur Pengelola PT General Food Industries. Waktu itu pasar bisnis cokelat memang masih kecil sehingga, sebagai pengusaha, Chuang harus terus memompa karyawannya agar termotivasi bekerja. Susanto tahu betul betapa tak mudah berbisnis cokelat di Bandung dan sekitarnya saat itu.

Rupanya pesan itu memang visioner dan realistis. Tak butuh menunggu 50 tahun, prediksi itu sudah terbukti. Kini bisnis cokelat nasional telah membesar, bukan ecek-ecek lagi, sehingga pengusaha yang serius menggarapnya bisa merasakan manisnya bisnis ini. Mereka yang mampu menembus pasar luar negeri pun akan lebih happy.

Dari semua pemain lokal yang menikmati manisnya bisnis cokelat, usaha yang dirintis M. C. Chuang di Garut, Jawa Barat, tergolong yang paling menonjol. Bak busur panah yang melesat, bisnis yang kini diteruskan generasi ke-2 Chuang bukan lagi skala lokal dan regional, melainkan global. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan pemain kelas dunia. BusinessWeek pernah menyebutnya sebagai pemain terbesar ketiga dunia untuk pemasok cocoa ingredients, berada di belakang ADM (Archier Daniels Midland) dan Cargill. “Kalau di Asia, kami yang terbesar,” kata Cynthia P., Sekretaris Korporat Grup Ceres – Operasi Indonesia, yang juga profesional kepercayaan keluarga Chuang.

Dengan bendera Petra Foods Limited sebagai holding-nya, skala usaha keluarga Chuang di bisnis cokelat memang tak bisa dianggap sepele. Secara garis besar, bisnis cokelat keluarga dari Garut ini dibagi dua: produsen bahan baku cokelat (cocoa ingredient) dan produk-produk konsumer berbasis cokelat seperti cokelat batangan, wafer cokelat, biskuit cokelat, meises, yang dilabeli merek seperti Silver Queen, Ceres (meises) dan Selamat (biskuit).

Sebagai pemain bahan baku cokelat, keluarga Chuang memproses biji-biji kakao dari berbagai negara untuk kemudian diolah menjadi bahan baku cokelat premium yang dipasok ke perusahaan-perusahaan cokelat dan confectionary dunia. Nestle, Cadbury dan Mars adalah sebagian dari deretan pelanggannya. Bisnis ini bersifat B2B, jadi kliennya adalah kalangan korporasi yang membutuhkan cokelat untuk produknya, entah itu susu, es krim, atau cokelat batangan. Di Indonesia, oleh keluarga Chuang bisnis ini diberi bendera PT General Food Industries yang 90% produknya diekspor. Sementara itu, produk konsumer berbasis cokelat dimasukkan dalam PT Ceres yang 85% produknya dipasarkan ke dalam negeri.

Di tangan generasi ke-2, yakni John, Joseph dan William Chuang, omset bisnis keluarga yang mempekerjakan lebih dari 3.000 karyawan ini telah tembus Rp 8 triliun. Menariknya, meski terbilang sangat sukses, keluarga Chuang bukan sosok keluarga pengusaha yang beken di Tanah Air. Mereka cenderung low profile, malah ada yang menyebutnya sangat ortodoks -- sebutan yang tak sepenuhnya tepat. Permohonan wawancara kepada mereka juga tak bersambut. Namun yang pasti, tanpa banyak gembar-gembor, bisnis mereka teramat solid dan berkembang pesat.

Kalangan mancanegara lebih mengenal bisnis keluarga dari Garut ini dengan bendera Petra Foods ketimbang Ceres, perusahaan yang mula-mula dibesut M.C. Chuang – di Indonesia sendiri, mereka sering disebut Grup Ceres. Petra Foods didirikan anak sulung M.C. Chuang, John Chuang, pada 1984. Pada 2004, perusahaan ini terdaftar di bursa Singapura dan langsung menyabet penghargaan sebagai pendatang terbaik.

Sebagai pemain cokelat, kiprah Petra Foods sungguh mengagumkan. Dalam lima tahun terakhir, untuk menjamin proses produksinya, mereka telah membangun pabrik pengolahan kakao di luar Indonesia, antara lain di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko dan Filipina. Di Indonesia, mereka membeli biji kakao dari pedagang dan petani pengumpul, terutama di Sulawesi Selatan (80%), lewat General Food Industries.

Sementara itu, di bisnis konsumer berbasis cokelat, jajaran produknya telah dipasarkan ke 17 negara. Merek-merek utamanya antara lain Ceres, Silver Queen, Cha-cha, Delfi, Selamat, Take-It, Top dan Tulip. Di Indonesia merek-merek itu pun tak asing. Silver Queen misalnya, dari hasil studi berbagai lembaga riset pemasaran, merupakan pemimpin pasar di segmen cokelat batangan. Demikian pula Top, Cha-Cha, Delfi dan meises Ceres. Ditaksir, keluarga Chuang menguasai 60% pasar cokelat bermerek Indonesia.

Tak perlu repot-repot untuk melihat fantastisnya kinerja bisnis keluarga Chuang. Tengoklah revenue Petra Foods sebagai induk bisnisnya. Tahun 2006, pendapatannya mencapai US$ 522,85 juta. Tahun 2007 melonjak 60% menjadi US$ 836,61 juta. Paruh pertama 2008 kinerja Petra Foods terus mencorong, meraih US$ 516,07 juta, atau meningkat 43,2% dibanding paruh pertama 2007 yang sebesar US$ 360,27 juta. “Proporsi kontribusi bisnis pengolahan kakao sebesar 70%, dan dari bisnis cokelat konsumer 30%,” Cynthia menerangkan.

Catatan menarik, bila diamati, portofolio pasar Petra Foods tidak tergantung pada Indonesia. Memang Indonesia termasuk pasar terbesar bisnis mereka -- revenue dari pasar Indonesia tahun 2007 US$ 198,4 juta alias hampir Rp 2 triliun – tapi kinerja di kawasan-kawasan lain juga berkilau. Di Malaysia, pendapatan yang diraup mencapai US$ 23 juta, di Filipina US$ 32 juta, di Singapura US$ 52 juta dan di Jepang US$ 54 juta. Bahkan dari kawasan Eropa, Petra Foods sanggup mengeruk total pendapatan US$ 299,9 juta.

Dengan segala kehebatannya itu, brand Petra Foods termasuk dalam jajaran 15 merek termahal (most valuable brand) bersama nama-nama besar seperti SingTel, UOB Bank, DBS Bank, Shangri-La dan Singapore Airlines (hasil riset Interbrand Singapore Pte. Ltd.). Sebuah pencapaian yang jauh dari bayangan ketika bisnis ini mulai berjalan di tanah Garut.

Bisnis keluarga Chuang bermula dari NV Ceres, perusahaan yang didirikan orang Belanda pada masa kolonial. Saat Jepang menguasai Indonesia, Ceres dijual dan akhirnya dibeli M.C. Chuang. Setelah itu, diubah menjadi perseroan terbatas, PT Perusahaan Industri Ceres. Status PT, seperti dikatakan Cynthia, mulai disandang pada 20 Januari 1950.

Sejak mengelola Ceres, M.C. Chuang sudah dikenal sebagai ahli cokelat sehingga kabarnya Presiden Soekarno pun kalau memesan cokelat selalu buatan Ceres. Saat Konferensi Asia-Afrika 1955, Chuang yang mendapat order cokelat untuk acara akbar itu memindahkan usahanya dari Garut ke Bandung. Memadukan kerja keras dan harmoni dengan lingkungan (anak buah serta tetangga di sekitar usahanya), bisnis Chuang terus berkembang. Pada 25 April 1968 dia menambah lini bisnisnya, bidang industri pengolahan kakao, dengan bendera PT General Food Industries.

Bisnis cokelat Chuang makin melaju setelah putra-putranya yang lulusan MBA dari sekolah bisnis di luar negeri ikut bergabung. Tahun 1984 John Chuang mendirikan Petra Foods di Singapura, yang kelak dijadikan perusahaan pemasaran dan distribusi untuk mengetuk pintu ekspor sekaligus menjadi holding company. Sementara tahun 1986, Joseph Chuang, adik John, mendirikan PT Nirwana Lestari di Indonesia yang kemudian menjadi key success pemasaran produk-produk Grup Ceres di Indonesia.

Dalam perjalanan bisnis keluarga Chuang, kiprah Nirwana perlu mendapat sorotan khusus, karena memang menjadi salah satu kunci perkembangan bisnis kerajaan cokelat ini. Sejak awal Nirwana didirikan untuk menggarap gerai modern yang dipandang akan berkembang. Waktu itu belum ada pemain distribusi yang fokus di gerai modern. Lewat Nirwana, keluarga Chuang sengaja membangun kekuatan distribusi yang menyasar gerai modern ini, khususnya untuk produk-produk berbasis cokelat yang butuh alat pendingin.

Dengan keseriusannya, Nirwana terus merangsek ke pasar modern. Didukung 400-an armada mobil angkut berpendingin, perusahaan ini tak hanya memasarkan produk milik induknya, Ceres, tapi juga produk milik orang lain. Tak kurang 40-an merek dari 30 pemilik merek berbeda dalam 6 kategori produk (cokelat, biskuit, sarapan pagi, minuman, permen, campuran kue dan bahan masakan) didistribusikannya. Dengan mitra ratusan distributor, cakupan distribusi Nirwana meliputi sedikitnya 40 hypermarket, 750 supermarket, dan 3.500 minimarket di seluruh Indonesia.

Di jaringan Indomaret misalnya, produk-produk Grup Ceres sangat berjaya. Menurut Laurensius Tirta Widjaja, Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama -- pengelola jaringan Indomaret -- dari penjualan tahunan Indomaret yang sekitar Rp 7 triliun, “Produk-produk Ceres Group menyumbang 6%-7%. Cukup signifikan.” Laurensius kini mengontrol 2.853 gerai Indomaret.

Sementara itu, Pudjianto, Direktur Pengelola PT Sumber Alfaria Trijaya -- pengelola jaringan Alfamart – mengungkap bahwa meski pihaknya menjual merek lain di kategori cokelat, termasuk cokelat impor, sulit memakan “kue” kelompok Ceres, baik untuk Silver Queen maupun meises Ceres. Terlebih setelah Ceres membangun second brand meisesnya, Tulip, maka makin sulitlah pemain luar mematahkan dominasi keluarga Chuang.

“Mereka hampir tidak ada lawan,” kata Bachtiar Jusuf, pelaku bisnis distribusi yang juga Presiden Komisaris PT Wicaksana Overseas Indonesia (WOI). Dalam pandangannya, kini produk Ceres sudah mengalir sendiri di pasar karena permintaannya telah terbentuk. Dia mengakui WOI pernah memegang kendali distribusi produk Ceres pada 1980-an. Keluarga Chuang juga sempat belajar dari WOI sampai akhirnya mengelola sendiri lewat Nirwana.

Saking kuatnya penguasaan di bisnis distribusi cokelat ini, para kompetitor Ceres bahkan menitipkan pendistribusikan merek cokelatnya ke Nirwana. Merek terkenal dunia seperti Toblerone, Fishermans Friend, Tabasco, Lea & Perrins, Loacker, Ritter Sport serta Meiji, pendistribusiannya di Indonesia melalui Nirwana. “Penguasaan mereka terhadap pedagang dan peritel sudah mengakar sehingga sulit ditembus pemain lain. Lebih baik join dengan Nirwana Lestari,” ujar pemerhati bisnis yang kenal dekat dengan sumber-sumber di Nirwana. Kini sekitar 80% produk cokelat bermerek yang beredar di gerai modern Indonesia dipasok Nirwana.

“Lini distribusinya cukup bagus, rapat dan rapi. PT Nirwana Lestari sebagai gurita distribusinya tergolong memiliki manajemen distribusi yang baik dan profesional, sehingga menjamin ketersediaan produk di pasar. Mereka mampu bekerja sama dengan banyak mitra subdistributor hingga loyal mengingat mayoritas produknya tergolong mudah laku,” tutur Jahja B. Soenarjo, pemerhati pemasaran dari Direxion Consulting.

“Mereka sudah terpercaya sehingga pemilik merek-merek dunia (bahkan) berani memberi lisensi bagi merek-mereknya dengan taste locally Indonesia. Lebih unik lagi, merek-merek lisensi ini sudah dibeli lisensinya di Indonesia dan diproduksi di Indonesia tapi kemudian diekspor lagi keluar,” kata Sugianto Wibawa, Direktur Operasional Grup Hero yang juga pengurus teras Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia. Dia menyebut salah satunya adalah cokelat UC yang bisa ditemukan di luar negeri, ternyata diproduksi Ceres di Indonesia. “Maunya memang menjadi the big chocolate player in the world, makanya listing di Singapura. Visi mereka memang go global,” ujarnya. Sugianto sendiri mengenal sejumlah anak usaha keluarga Chuang sejak mengelola BreadTalk.

Cengkeraman yang kuat di bidang distribusi ini membuat pemain-pemain global sulit mengais pangsa pasar yang signifikan di Indonesia. Cadbury Schweppes, salah satu raksasa cokelat branded dunia, pernah masuk di Indonesia dan mendirikan pabrik di Pulogadung, Jakarta. Namun, tak lama kemudian mereka menutup pabriknya karena tak kuat bersaing dengan keluarga Chuang. Di Filipina, Nestle pun memilih menjual fasilitas distribusinya melalui anak usaha Petra Foods ketimbang beradu kuat.

Di level Asia Tenggara, Petra Foods sudah cukup lama menekuk sejumlah raksasa cokelat dunia. Lembaga riset Euromonitor International, misalnya, sejak 2005 mencatat Petra Foods sebagai pemimpin pasar di bisnis cokelat konsumer. Petra Foods memegang pangsa pasar 19,6%, diikuti Cadbury Schweppes (13,3%) dan Nestle (12,4%). Yang mengejutkan, Mars Incorporated, yang dikenal sebagai pemain cokelat terbesar dunia dengan merek terkenal M&M dan Snickers itu, penguasaannya di Asia Tenggara tak lebih dari 9,2%.

Meraih omset tahunan Rp 8 triliun dari bisnis cokelat dan kakao tentu saja hal yang menarik dan pasti tak mudah diraih. Apalagi, di bisnis ini rata-rata pemainnya sudah kawakan. Distribusi yang kuat memang menjadi kunci sukses keluarga Chuang. Namun, mereka juga memiliki kunci-kunci sukses lainnya. Apa saja?

Sebenarnya, dari sisi teknologi produksi, keluarga Chuang tidak terlalu istimewa. Teknologi pembuatan cokelat terbilang sederhana. “Cukup sederhana. Hanya kakao, gula dan susu diaduk-aduk. Lalu, memainkan temperatur, tekanan dan lamanya di penggorengan,” kata sumber SWA yang pernah mengunjungi pabrik Ceres di Bandung. Hanya, catat sang sumber, mereka memiliki jago-jago pengetes rasa cokelat (tester). Mereka tahu cokelat yang akan dibuat cocok atau tidak dengan lidah konsumen sehingga tahu suatu produk kelebihan gulanya atau tidak, waktu menggorengnya kelebihan waktu sekian menit atau tidak. Selain John dan adik-adiknya, ada sekitar 30 tester di keluarga Chuang yang sangat diandalkan, termasuk Nancy Florencia, Direktur Keuangan PT Ceres.

Alhasil, kualitas produknya sangat terjaga. Meises Ceres, misalnya. Cocoa butter dalam meises Ceres memiki banyak kelebihan, di antaranya: fat-nya stabil, tidak mudah rusak, dan suhunya sedikit di bawah tubuh. Bila meises ini dimakan, akan langsung meleleh di bibir. Rasanya pun benar-benar cokelat, tidak seperti lilin. Di pasar, produk-produk ini kemudian dilabeli dengan harga di atas para pesaingnya untuk menunjukkan kualitasnya yang berbeda.

Selain kemampuan membuat produk yang bagus, grup ini pun tekun dan konsisten membangun pasar. Konsistensi mereka tampak dari cara mereka menangani Silver Queen di Indonesia. Merek ini telah dipasarkan sejak zaman M.C. Chuang, 1950-an. Dan dari awal rutin dipromosikan di berbagai media. Produk ini juga merupakan cokelat pertama yang diiklankan di televisi Indonesia. Dengan mengusung slogan citra “Santai belum lengkap tanpa Silver Queen”, sejak 1999 mereka memberikan pula aneka gimmick ke konsumennya: hadiah liburan santai ke Eropa, liburan domestik, dan hadiah-hadiah langsung lainnya. Saking kuatnya di Indonesia, banyak yang mengira Silver Queen produk asing.

Yang membuat Pudjianto terkesan, walaupun telah berekspansi sampai pasar global, cara pendekatan keluarga Chuang dengan konsumen dan jaringan distribusi di Indonesia masih bersifat lokal. Pendekatan personal mereka tidak bergaya Western, tetapi gaya orang Chinese umumnya. “Pendekatannya lokal,” ujar Pudjianto. Maksudnya, menonjolkan kekeluargaan. Lalu, dari sisi distribusi juga bagus karena mendedikasikan orangnya di setiap mitra ritelnya.

Dari sisi promosi, grup ini pun menerapkan cara-cara promosi modern untuk mendongkrak sukses. Mereka biasa mengiklankan produk-produknya di televisi dan media-media cetak. Adji Watono, Presiden Direktur Dwi Sapta, mengakui hal itu karena perusahaannya menangani iklan beberapa produk Grup Ceres, seperti meises Ceres, biskuit Selamat, Anytime, Twister dan Fun Time. Adji juga sering bertemu keluarga Chuang, khususnya Joseph. “Cara berpikir mereka sangat global player,” katanya.

Tak mau ketinggalan, Jahja B. Soenarjo menimpali saat berbicara tentang kunci sukses keluarga Chuang. “Bila meminjam model strategi generik dari Michael Porter, Ceres Group mendominasi dengan dua pilar yang kokoh,” ujarnya. Pertama, fokus. Keluarga Chuang sejak awal amat fokus pada bisnisnya: cokelat. Integrasi yang dilakukan dari hulu hingga ke hilir kian memperkokoh eksistensinya. Kedua, diferensiasi: melakukan diferensiasi produk cokelatnya dan hampir menutup rapat pasar dengan memasuki berbagai segmen.

Ini tidak keliru. Dengan kemampuannya mengolah cokelat, keluarga Chuang selalu menjadikan produknya sebagai produk yang berbasis cokelat. Contoh, dengan cokelatnya, dia membuat biskuit, wafer dan meises. Biskuit Selamat dikomunikasikan sebagai cokelat biskuit, bukan biskuit cokelat. Arti cokelat biskuit adalah cokelat yang dilapisi biskuit, bukan sebaliknya. Sudah begitu, keluarga Chuang juga membuat segmen yang berlapis sehingga lawan sulit masuk, misalnya membuat meises Tulip sebagai second brand-nya meises Ceres. Tugas Tulip adalah sebagai fighting brand.

Kedua strategi generik itu juga diperkokoh melalui aliansi strategis dengan mitra-mitra yang tepat, termasuk Delfi dan Meiji, sehingga sekalipun harus menghadapi persaingan ketat, termasuk melawan Cadbury, Grup Ceres tetap tidak tergoyahkan dan memiliki basis pasar yang besar. Pendeknya, keluarga Chuang tak tabu mendirikan aneka usaha patungan dengan mitra-mitra bisnisnya.

Dalam hemat Jahja, perihal strategi branding, Ceres melakukan multibranding dengan baik sesuai dengan differentiated product yang dikembangkan untuk mengisi segmen-segmen yang dibidik. “Namun core brands sebagai backbone dan lokomotif terus mendapat perhatian cukup serius,” katanya menganalisis.

Fokus. Tak salah kalau strategi itu disebut sebagai salah satu pilar sukses keluarga Chuang. Sebagai perusahaan besar, bisnis mereka memang tak berlari dari rel utamanya, cokelat. Hal ini juga tak disangkal Cynthia yang membenarkan selama ini grup perusahaannya memang hanya bermain di pengolahan kakao dan produksi cokelat konsumer. Bahkan, pihaknya pun belum tertarik masuk di bisnis perkebunan kakao karena memang ingin fokus di kompetensinya: pemrosesan cokelat. Tak mengherankan, ketika ditanyakan kepadanya apa saja strategi keluarga Chuang untuk mengembangkan bisnisnya, secara tegas dia menjawab, “Fokus pada satu bidang bisnis, yaitu cokelat dan kakao."

John, seperti dikutip Forbes (April 2006), menegaskan ini. “Bagi ADM dan Cargill, cokelat hanya satu bisnis di antara bisnis-bisnis mereka. Saya bahkan berpikir tentang cokelat saat makan pagi,” katanya. Saking fokus dan hebatnya menguasai pasar, keluarga Chuang bahkan mulai berpikir nantinya bukan lagi sebagai chocolate manufacturer belaka, tapi chocolate advisor. Mereka nantinya bukan hanya memiliki pabrik, tapi juga membuatkan resep untuk perusahaan-perusahaan seperti Dunkin' Donuts, Nestle dan Holland Bakery.

Yang jelas, bak sebuah kereta api, sukses dan membesarnya Grup Ceres ternyata juga menarik “gerbong” besar di belakangnya: pemain lain yang bisnisnya terkait Ceres. Contohnya, PT Trijaya Makmur Lestari (TML), distributor produk Ceres untuk Kabupaten Bandung, Sumedang dan Purwakarta. Dari 1996 sampai 2007, size bisnis TML yang dikomandani Edward Hilman ini meningkat 11 kali lipat, dengan pertumbuhan per tahun rata-rata 20%.

Edward pun tak menampik kini TML telah beranak-pinak menjadi empat perusahaan distribusi Ceres, antara lain TML, Putra Jaya Makmur Lestari, Subur Jaya Makmur Lestari dan Satria Raya Makmur Lestari. Gerai yang dipasok TML mencapai 10 ribu titik di Ja-Bar. Tenaga penjualannya 100 orang dengan armada 40 mobil boks. Adapun jumlah karyawan TML mencapai 200 orang. “Kami juga ikut tumbuh bersama Ceres,” Edward mengakui.

Mengingat besarnya potensi pertumbuhan konsumsi cokelat di negara berkembang termasuk di Indonesia, tampaknya masa depan kerajaan cokelat keluarga Chuang ini masih akan moncer. Saat ini di Indonesia, India dan Cina khususnya, rata-rata konsumsi cokelat hanya 0,06 kg per kapita/tahun. Adapun di negara Eropa rata-rata konsumsi cokelat adalah 8 kg per kapita/ tahun.

Khusus untuk Eropa, keluarga Chuang malah tengah bersuka cita karena Juli 2008 PT Ceres resmi mendapat sertifikasi dari dari British Retail Consortium (BRC. Ini bukanlah sertifikasi kelas ecek-ecek. BRC merupakan asosiasi pedagang ritel di Inggris yang menciptakan sistem audit keamanan pangan yang disebut British Food Safety Standard. Adapun tujuannya adalah menjaga keamanan produk-produk house brand yang diproduksi pihak ketiga. Para pelaku industri pangan di dunia mengakuinya sebagai sistem audit keamanan pangan terketat dan terbaik pada saat ini. Para peritel di Inggris, daratan Eropa, Amerika Serikat dan Australia mewajibkan sertifikasi BRC sebagai syarat utama bagi para pemasok barang. “Tujuan PT Ceres memperoleh sertifikasi itu justru untuk kepentingan domestik. Kita perlu melakukan perlindungan konsumen dalam negeri, khususnya dalam hal keamanan pangan,” papar Ridwan C. Kidjo, Direktur Penjualan PT Ceres.

Apa pun, Piter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia, menyambut gembira ada pemain Indonesia yang bisa masuk pasar global seperti Ceres. “Itu dapat dijadikan contoh bagus bagi industri cokelat dan confectionery dalam negeri untuk mengembangkan usahanya,” katanya. Ini mengingat di Tanah Air bahan baku cokelat memang tersedia. Indonesia merupakan produsen biji kakao nomor 3 terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Apalagi, pemerintah melalui Menteri Pertanian RI telah menargetkan Indonesia menjadi produsen biji kakao nomor wahid di dunia dengan program Revitalisasi Kakao yang menelan dana Rp 2,5 triliun. “Harapannya Indonesia tidak hanya dikenal sebagai eskportir biji kakao mentah, namun terbesar di dunia untuk kakao olahan dan end product,” ujar Piter yang juga pengusaha cokelat olahan.

Ya, peluang memang terbuka. Dan M. C. Chuang memang tak keliru ketika dia menggambarkan pandangannya kepada Pontjo Susanto: “Jangan khawatir berfokus di bisnis cokelat. Industri ini akan terus berkembang dan membesar 50 tahun mendatang!” Di tangan generasi ke-2 nya, keluarga Chuang kian kokoh membangun imperium bisnis cokelatnya.


Reportase: Affif Maulana Dewanda, Darandono, M. Husni Mubarak, Rias Andriati, S. Ruslina, Tutut Handayani dan Wini Angraeni
Riset: Sarah Ratna Herni dan Rohmat Purnadi

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1&id=8126&url=http%3A%2F%2F202.59.162.82%2Fswamajalah%2Ftren%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D8126